Karya Masyarakat Mandiri

Mendampingi dengan Hati (2)

Mursali, tukang tahu di Iwul berbicara di depan mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah saat kuliah ’terbuka’ di Kampung Tahu Iwul, ”Mas Rano Karno saya anggap sebagai saudara kandung, bukan orang lain….” Spontan. Saya yakin, ia tidak sedang memuji-muji Rano Karno, pendamping Masyarakat Mandiri untuk Kampung Iwul yang siang itu menjadi ’dosen dadakan’ Mata Kuliah Praktek Pekerjaan Sosial bagi mahasiswa.

Bila kalimat Mursali bertendensi pujian, mungkin bisa ditarik makna Rano telah banyak membantu para pembuat tahu dengan guliran dana buat usaha mereka. Karena banyak membantu, tumbuhlah rasa segan sebab telah tampil di hadapan mereka seorang pahlawan. Bayangkan, selama ini perajin tahu selalu berhadapan dengan bank keliling yang menawarkan pinjaman dengan bunga mencekik, dengan tagihan mingguan atau harian. Seorang tukang tahu jika sepi pasar tiga hari berturut-turut berarti habis-habisan. Kemana hendak mengadu, kalau bukan pada bank titil yang rajin mengetuk pintu?

Hadirnya Rano Karno sebagai pendamping berperan di antaranya memberikan pembiayaan modal tanpa bunga, tanpa jaminan, dan tanpa berbelit-belit. Bukankah itu ’pahlawan’ bagi mereka yang lemah modal?

Mursali dan kawan-kawan tidak menganggap Rano sebagai pahlawan. Mereka menganggapnya ’cukup’ saudara kandung. ”Kata kunci pendampingan itu terletak pada totalitas mendampingi komunitas. Karenanya seorang pendamping harus ditanam di tengah-tengah komunitas,” kata Rano di hadapan mahasiswa UIN. Kalau tidak demikian, ungkapnya lagi, tak bisa dibedakan pendamping dengan tukang kredit. Datang-datang cuma menagih, kalau perlu mengejar-kejar.

Soal pembiayaan, dana dipinjamkan sebagai modal usaha. Untuk mengembalikannya, para usahawan mikro ini melakukannya dengan penuh kesadaran. Hasilnya nyaris nihil pengembalian macet. Bandingkan dengan para pengemplang hutang di negeri ini yang membawa kabur uang negara.

Pada proses pendampingan ada mekanisme disiplin kelompok dan disiplin pinjaman yang dijalankan. Namun, mekanisme itu tak berarti apa-apa tanpa penguatan bersifat moral. Lagi-lagi mendampingi dengan hati, menjadi kunci penguatan moral. Di sini pendamping membuat konstruksi kepercayaan dia pada komunitas yang didampingi. Juga bangunan kepercayaan yang ditata-susun di antara anggota komunitas.

Tahapan membangun kepercayaan kini telah sampai pada fase alih asuh. Lebih dari setahun, pendamping berperan pada hampir semua proses asuh (pembinaan). Melalui proses asah (penguatan), tumbuhlah kader-kader dari komunitas yang asalnya sarat keterbatasan. Mereka dulu serba terbatas pendidikan, wawasan, modal dan akses informasi. Dari sinilah tumbuh tanda-tanda kemandirian kelembagaan lokal. Dalam beberapa hal para kader lokal berperan menggantikan fungsi pendamping. Mekanisme kedisiplinan mulai mereka kendalikan.

Pekerjaan rumah yang belum selesai, tentu, bagaimana mendampingi dengan hati menjadi kebiasaan di antara kader komunitas. Bukankah bangsa kita telah mengajarkan pola asah, asuh dan asih?

Diposting pertama kali pada 26 Juli 2007

{fcomment}

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top