Gimin, BBM, dan Empati
Kebakaran menghanguskan rumah-rumah di pemukiman padat di kawasan Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, Rabu (18/6). Korban tak bisa mengelak dari kerugian pada kejadian hampir rutin di Jakarta itu. Kepedihan makin menumpuk.
Di tengah kesibukannya di penggilingan bakso di Pasar Inpres Cipinang, Gimin hanya bisa menekuri kejadian itu. Ia merasakan sekali betapa para tetangga dan teman-temannya korban kebakaran kian perih. Deraan kenaikan harga BBM belum surut. Pemukian tak jauh dari Pasar Gembrong itu mengguratkan pilu di antara membumbungnya harga-harga segala macam barang dan jasa. Sama pilunya ketika dihadiahi kebijakan Pemerintah yang membuat orang kecil makin susah makan. Sudah pilu, semua lidah jadi kelu. Tak bisa berkata-kata lagi.
”Biarlah semua harga naik, karena BBM naik, asalkan kita masih bisa makan,” itu kata seorang ustadz kesohor di sebuah demo pascakenaikan BBM beberapa pekan yang lewat. Waduh, kata ”kita” itu mewakili siapa? Memang Pak Ustad dengan pakaian putih bersih, kaca mata mahal, ’mustahil’ susah makan. Setidaknya tiga kali sehari, 4 Sehat 5 Sempurna. Tapi, mbokyao bicara itu pakai empati, apalagi disorot wartawan. Rakyat kita, (mad’u-mu, Ya Ustadz!), nyatanya makin susah makan. Pemandangan ini sekadar memperkaya ironisme bangsa kita.
Di panggung demo yang sama, di menit yang berbeda, Gimin, Si Tukang Bakso, juga berorasi. ”Kami pedagang menolak kenaikan BBM ini!” Di matanya, tentu kenaikan BBM bermasalah. Namun, ia juga jeli sebagaimana pengamat yang pandai berwacana. ”Mampu nggak pemerintah memberi subsidi pada usaha gurem seperti kami?!” Logika yang dia kembangkan cukup solutif, sekaligus meragukan , juga menggugat Pemerintahnya.
Di lain hari, penjual bakso dan vegemie di dekat Kampus Empu Tantular itu menuturkan keluhan teman-temannya sesama penjual bakso dan mie ayam. Dengan harga minyak yang bisa mencapai Rp 6.000 – Rp 7.000 di pasaran, membuat mereka tak imbang modal dengan pendapatan. Modal lebih besar, pendapatan sama dengan sebelum kenaikan BBM.
Kalau bakso dinaikkan , para pedagang mikir-mikir, kasihan juga konsumen. Sekarang konsumen bakso dan mie ayam makin turun. Kalau dulu orang beli mie ayam hari ini, besoknya mampu beli lagi. Sekarang belum tentu seperti itu. Jadinya serba salah, kata Sekretaris Koperasi ISM Cipinang itu.”Harga dinaikkan, konsumen kabur. Sebaliknya, kalau tidak dinaikkan, kita yang bisa kalang-kabut.”
Gimin, sosok yang memelihara empati. Tak hanya saat berunjuk rasa. Sehari-hari ketika jualan bakso, ia tetap berempati. Seperti beberapa kawannya, ia tak mengubah patokan harga mengingat daya beli konsumen makin turun. Patokan dia cuma satu, ”Pokoknya konsumen senang.” Selain empati, ia juga punya trik agar pelanggan tak meninggalkannya.
Triknya itu cukup sederhana, dan bisa Anda gunakan. Humor. Ya, cuma humor. Atau setidaknya murah senyum. Bapak empat anak itu memang suka melawak. Katanya, kalau pembeli senang duluan karena disenangkan sang penjual, mereka mau beli berapapun harganya. Boleh jadi, humor tukang bakso ini cerminan rasa empati pada pelanggannya yang bernasib sama: menghadapi keadaan ekonomi yang bikin pengap, sesak. Bisa juga, itulah formula orang kecil untuk tetap bertahan: senyum dan membuat orang lain bahagia.
Dan, silahkan mampir ke warung Bakso dan Vegemie Idola di sebelah Kampus Mpe Tantular Jakarta Timur. Bersiaplah diberi kejutan saat bertemu Mas Gimin ini!
{fcomment}
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!