Lilis Ijali Sahidah: Berawal Dari Kremes

Usai menamatkan SMEA, Lilis Ijali Sahidah berangkat ke Jakarta dengan satu tujuan: bekerja. Ia menemui kawannya yang sudah lebih dulu kerja di sebuah pabrik ampelas. Kebetulan saat itu ada lowongan untuk bagian quality control. Lilis memasukan surat lamaran. Tak sampai seminggu, ada panggilan interview. Ia diterima.

“Duh…seneng banget bisa kerja. Padahal, kalau saya baca dikoran dan liat ditelevisi, banyak sarjana yang nganggur, sulit cari kerja,” Lilis berceloteh.

Sehari-hari, tugas Lilis memastikan kualitas barang-barang yang akan dibawa keluar (baca dijual) sudah sesuai standar pabrik. Tak jauh dari tempat kerjanya, ada sebuah pabrik kaleng. Saban hari, para karyawan dua pabrik itu kerap bersua. Sesekali, antara gadis dan bujangannya saling bercuri pandang atau ledek-ledekan.

Ketika itu, ada seorang pria bernama Sahrudin yang selalu memperhatikan Lilis. Diam-diam Sahrudin menaruh hati. Rupanya Lilis pun menyambut, meski terkesan masih malu-malu kucing. Jadilah keduanya berkenalan, sering jalan berdua, lalu sepakat memadu kasih. Lilis jadi lebih semangat jika bekerja. Sedikit demi sedikit ia mulai rajin menabung.

“Buat nikah, biar nanti nggak terlalu membebani orang tua,” cetusnya tersenyum.

Singkat cerita, Lilis akhirnya menikah dengan Sahrudin, pria yang usianya lebih tua tujuh tahun. Tak lama kemudian, tempat kerja Lilis bangkrut gara-gara krisis moneter. Selanjutnya Lilis lebih banyak menghabiskan waktunya di kontrakan sembari menanti kelahiran jabang bayi.

Anak pertama Lilis lahir. Sahrudin memberinya nama Fitasari Nurazizah. Sayang, kebahagiaan rumah tangga muda ini harus terganggu dengan tutupnya pabrik kaleng. Sahrudin jadi pengangguran. Mereka makan dengan mengandalkan uang pesangon yang tak cukup sampai setahun. Berkali-kali Sahrudin melamar kerja, hasilnya selalu berujung penolakan.

”Mungkin karena ijazah saya cuma SMP,” Sahrudin angkat bicara.

Setiap hari kebutuhan hidup Lilis terus meningkat. Apalagi Fitasari mulai doyan jajan. Sementara pemasukannya nol. Lilis dan Sahrudin sama-sama nganggur. Lilis kembali bekerja, jadi pelayan warteg. Sahrudin yang bosan melamar kerja, akhirnya jadi marbot masjid. Sedangkan Fitasari, dibawa pulang ke Garut, diasuh neneknya, daripada tinggal di kontrakan tapi tidak diberi susu.

Lama-lama fisik Lilis tak kuat lantaran setiap hari harus kerja dari pagi hingga malam. Ia memilih keluar, kemudian jadi SPG (sales promotion girl) aksesoris di sebuah pusat perbelanjaan. Itu pun tidak bertahan lama.

”Saya capek, kerjanya berdiri terus, takut kaki varises,” Lilis beralasan.

Beberapa hari Lilis menganggur di kontrakannya di daerah Warakas, Jakarta Utara. Seorang tetangga yang memiliki usaha kue brownies, menawarkan pekerjaan sebagai sales. Lilis yang menyadari dirinya pernah belajar ilmu pemasaran sewaktu sekolah, kontan menerima tawaran itu. Ia butuh uang untuk makan dan bayar kontrakan. Apalagi, saat itu ia tengah mengandung anak keduanya.

Usai menjajakan kue brownies ke warung-warung dengan mengendarai sepeda mini, Lilis terkadang mampir ke tempat kakaknya yang punya usaha makanan kremes. Dari situ ia mulai belajar bikin kremes. Ia memperhatikan kakaknya memarut ubi putih sampai halus, lalu menggoreng dan mencampurkan gula merah. Setelah itu, kremes dicetak pakai tutup botol berbentuk bulat.

”Saya lihat kok bikinnya gampang, yah. Kata kakak, keuntungannya juga lumayan,” gumam Lilis.

Di rumah, Lilis mempraktekkan bikin kremes sendiri, dengan modal dari hasil jualan kue brownies. Mula-mula ia membuat satu toples. Isinya 25 biji. Kremes itu dititipkan di warung sebelah kontrakannya. Tak sampai seminggu, ternyata kremes habis terjual. Esok hari, ia bikin dua toples. Satu toples ditaruh di warung sebelah kontrakan, satu toples lagi dititipkan di warung belakang kontrakannya. Semuanya laku.

Hari berikutnya, Lilis memberanikan diri menjajakan kremes sembari memasarkan kue brownies. Rupanya makanan buatan Lilis mendapat respon cukup baik. Permintaan dari pemilik warung kian bertambah. Namun, ia tak sanggup memenuhi permintaan itu lantaran keterbatasan modal. Melalui kelompok dampingan Program Yang Muda Yang Mandiri di Warakas, Lilis memperoleh modal. Lilis menggunakannya buat beli bahan baku dan toples dua losin.

”Sekadang bisa memproduksi 16 toples kremes perminggu. Suami sudah ikut masarin. Alhamdulillah, keuntungan jualan kremes bisa saya kirim ke kampung dan cukup untuk jajan anak kedua saya (Mayafiona Sari),” tukasnya menutup perbincangan. (LHZ)

{fcomment}

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.