Karya Masyarakat Mandiri

Manifesto Pemberdayaan: Inovasi Tiada Henti

Tidak ada suatu prosesi ritus seremonial yang menasbihkan kita sebagai pegiat pemberdayaan masyarakat ulung. Sebagai contoh misalnya seorang anak laki-laki suku Indian yang tidak akan disebut ‘dewasa’ dan boleh ikut berperang, sebelum lulus melewati ujian survival di alam liar, dan berhasil menyerahkan kepala harimau ke hadapan para tetua adatnya – ini merupakan simbol ‘keganasan’ dunia yang tertaklukkan.

Sungguhpun begitu, bagi fasilitator pemberdayaan seperti kita, masa inisiasi itu mungkin; berlangsung saban hari – sepanjang umur program itu sendiri, dan sepi dari hingar-bingar decak kagum publik. Beberapa kolega kerapkali angkat topi pada pengorbanan teman-teman di lapangan yang ‘tak kenal waktu’ dan katanya ‘berdarah-darah’. Dramatisasi ‘berdarah-darah’ tersebut sebatas analogi saja atas betapa tidak mudahnya ‘menjinakkan’ hambatan-hambatan yang ada baik mitra yang kita dampingi maupun tatkala berhadapan dengan para stakeholder.

Urusan seorang pendamping bukan hanya berhadapan dengan konflik, mesti cerdas ‘membedah’ beragamnya isi kepala hingga meraba labirin hati mitranya. Pada saat yang bersamaan, dia juga dituntut untuk kreatif-inovatif dalam menghadirkan wujud produk turunan dari komoditas sumber daya alam tertentu, misalnya. Desain kemasan yang menarik, sampai membuka akses pemasarannya, adalah paket lengkap yang tidak terpisahkan darinya. Lagi-lagi itu semua menuntut semangat inovasi tinggi.

Studi banding atau ‘mencuri’ pengalaman dari akademisi maupun praktisi untuk menjawab keawaman kita dalam menghasilkan produk itu adalah bagian dari inovasi. Tapi jika sesekali mengalami stagnasi, maka kencangkan motivasi untuk tidak menyerah. Terhiburlah hati kita, saat teringat Alfa Edison yang sempat gagal ratusan kali melakukan eksperimen, sebelum sempurnalah bola lampunya yang hingga hari ini kita menikmati pelitanya.

Ironi dan Laboratorium Inovasi

Keterampilan memelihara harapan, loyalitas, komitmen, resolusi konflik dan minat berinovasi melalui akses pengetahuan maupun teknologi adalah senarai modal yang dapat membuat kita sedikit lebih percaya diri. Walaupun begitu, ada satu ‘pekerjaan rumah’ besar bagi seorang pegiat pemberdayaan, yakni keselarasan antara teori atau motivasi berwirausaha dengan praktiknya. Ini berlaku di berbagai aspek, jika dia mendorong mitranya untuk optimis, maka dia adalah orang yang paling menolak sikap mental pesimistik. Apabila dia berapi-api memprovokasi para mitranya untuk cerdas mengelola keuangan rumah tangga dan hasil usahanya, maka dia juga harus menjamin terlebih dulu bahwa dirinya tidak pernah mengalami defisit keuangan.

Dalam obrolan lepas di sudut ruangan program, acapkali kami menertawai diri sendiri terkait hal ini, sebab ibarat api masih jauh dari panggang, yakni bagaimana mungkin meyakinkan para mitra untuk mengelola bisnis secara ‘baik dan benar’, tetapi kita sendiri belumlah menjadi seorang padagang yang sukses, atau setidaknya ‘kecil-kecilan’. Agar tidak menjadi ironi yang tak berkesudahan, idealnya kita juga menggeluti bisnis. Ini merupakan lokus empiris yang membantu pendamping mencapai maqom integritas dan terhindar dari sindiran atau fitnah, yakni adanya kesesuaian ucapan dan perbuatannya.

Beberapa rekan pendamping sudah mulai mengelola ‘usaha kecil-kecilan’. Bagi sebagian lainnya, meski baru tersentuh atau berupa ‘niatan’ saja, itu pun tidak lebih jelek dan sebagai bukti nyata bergaul dengan para mitra yang mayoritas pedagang. Selain dapat meredam teror ironi yang menghantuinya, bsnis yang dijalankan pendamping adalah laboratorium tempat berinovasi yang hasil temuannya dapat diadaptasi para mitranya, begitu sebaliknya ibarat hubungan simbiosis-mutualisme terjalin.

Menarik untuk disimak, rupanya seorang pemberdaya seperti kita dihadapkan pada berbagai kompleksitas masalah dan tingginya ekspektasi. Bermula dari sense of crisis, tidak puas dengan pencapaian hari ini, belajar dan terus berinovasi adalah keniscayaan untuk menghadirkan program yang tidak hanya unggul secara angka, tetapi juga kaya akan substansi. Inovasi hanya akan berhenti tatkala program itu tutup usia. ‘Alakullihal, saya jadi bertanya; jangan-jangan kita masih sering ‘berdarah-darah’ di lapangan, lantaran menganggap tuntutan berinovasi sebagai sesuatu yang ‘penting, tapi tidak mendesak’.

Oleh: ARDIAN INDRAPUTRA, Koordinator Program Masyarakat Mandiri

{fcomment}

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top