Mimpi untuk Indonesia

Menjadi catatan dan kritik khusus dari para dosen pengajar di IHS, untuk di Indonesia banyak kegagalan diproses pengembangan ekonomi lokal dikarenakan kepentingan non-ekonomi memiliki peran yang berlebih. Sulitnya menjaga independensi program akan berdampak kepercayaan (trust) antar stakeholder sulit terbangun. Kondisi tersebut jelas berpengaruh besar, karena keberhasilan ekonomi lokal berhubungan langsung dengan mekanisme pasar yang sulit di paksa ataupun diatur sekalipun oleh pemerintah.

Menarik sekali, melihat pertanian di negeri yang hampir separuh wilayahnya di bawah permukaan laut ini. Lesson learn pertanian dilakukan di Westland. Pertanian hulu-hilir begitu terintegrasi. Sistem cluster berkembang alamiah dengan prinsip saling mendukung. Kelembagaan petani berperan profesional dan berkontribusi nyata. Persaingan berbasis kualitas menjadi jaminan kompetisi yang sehat.

Berbekal 149.000 hektar (3,6 % dari luas wilayah Belanda), sektor pertanian Belanda mampu berkontribusi 21 % dari total neraca perdagangan nasional dengan nilai ekspor € 14.5 milyar di tahun 2009. Beragam produk hortikultura dan bunga mampu mendominasi pangsa pasar di Eropa bahkan dunia.

Berangkat dari hulu, ciri pertanian dengan teknik rumah kaca, manipulasi iklim dalam ruangan, teknologi robotik, komputerisasi, R & D dibagi, menjadi hal lazim. Ketika musim panas, mekanisme solar cell dirumah kaca berfungsi memanen energi panas yang berlimpah dan disimpan di tandon dan sungai-sungai bawah tanah hingga menaikkan suhu air 80-1000 C. Ketika memasuki musim dingin bahkan salju dengan suhu -50C, pertanian tetap berjalan. Saatnya mesin-mesin blower memanen simpanan energi bawah tanah dan mensirkulasi udara untuk memanipulasi iklim dalam ruangan. Kebutuhan tanaman akan CO2 pun dikirim melalui pipa-pira ratusan mil dari pabrik-pabrik yang menghasilkan CO­2 sebagai limbah.

Melihat kecanggihan pengelolaan pertanian yang demikian maju dan canggih, salah satu anggota tim REDs sempat berujar, “Lamun kos kie, diurang mah mual ka udak….” Jika seperti ini, di negeri kita tidak bakal mampu mengikutinya.

Jelas, sesuatu yang hampir mustahil menginginkan pertanian postmodern ala Belanda secar ujug-ujug. Terlebih untuk jangka pendek dan diterapkan di pertanian rakyat, jelas itu sebuah mimpi yang mendekati ilusi. Seorang petani Belanda berkisah, 100 tahun yang lalu pertanian di Belanda masih menggunakan tenaga manusia dan petani berkutat dengan tanah becek. Tetapi ada yang bisa kita adopsi yakni pola pikir dan sistem kelembagaan yang realistis untuk diterapkan di Indonesia.

Petani di negeri Belanda menganggap pertanian bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup atau bertahan hidup semata. Pertanian adalah bisnis yang membutuhkan nilai-nilai entrepreneurship dan kelembagaan yang kuat. Meskipun lahan pertanian dimiliki oleh individu, akan tetapi untuk mencapai efesiensi dan memperkuat posisi tawar, banyak petani melakukan merger usaha dengan satu grup pengelolaan. Bergabungnya beberapa pertanian dalam sebuah grup (sejenis koperasi tapi aturannya mirip korporasi) memungkinkan mereka mengembangkan usaha seperti pabrik pengemasan produk pertanian, spesialisasi fungsi meliputi pembibitan dan marketing.

Lahan pertanian di Belanda juga tidak menjadi objek warisan yang bisa dibagi-bagi hingga menyempit, akan tetapi lahan yang tetap utuh meskipun telah diwariskan ke beberapa generasi.
Logisnya, ketika suatu negeri memiliki anugrah alam yang kaya dan luas mestinya lebih makmur dari dibanding dengan negeri yang minim kekayaan alam, sempit terlebih penuh cuaca ekstrim. Akan tetapi fakta menunjukkan hal berbeda. Negeri Belanda jauh lebih makmur dan berhasil dibidang pertanian dibandingkan dengan Indonesia.

Sebuah kesimpulan kecil, dari realita pertanian di Belanda yang bisa dijadikan bahan pembelajaran di tanah air. Alam adalah anugrah Illahi yang sudah build in, sedangkan cara berpikir dan sistem kerjalah yang paling menentukan kemakmuran suatu negeri. Semoga proses pembelajaran yang telah menempuh perjalanan lebih dari 25.000 mil, mampu mengkristalkan tekad Tim REDs teguh dan konsisten untuk terus berkontribusi atas perkembangan ekonomi lokal. Semoga.

Adalah menjadi tanggung jawab bersama mengurus perkembangan ekonomi lokal. Jika tidak petani kita akan tetap menjadi kuli, usahawan tetap menjadi buruh dan akhirnya semua menjadi serba terlambat….

{fcomment}

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.