Sumarsih dan Inovasi Tiwul Instan
Alam desa Tambah Subur di wilayah Kecamatan Way Bungur Lampung Timur senantiasa mengajak warganya mengolah apa yang dimilikinya dari alam. Singkong menjadi primadona pertanian warga desa sejak tahun 1955. Lebih dari setengah abad silam, orang tua Sumarsih babat alas, membuka lahan untuk kemudian ditanami singkong.
Singkong menjadi makanan sehari-hari warga Jawa yang transmigrasi di wilayah Lampung Timur seperti orang tua Sumarsih. Singkong diolah menjadi gaplek lalu diubah menjadi tiwul yang menjadi makanan pokok keluarga seperti di Wonogiri atau Trenggalek di Jawa. Nasi mulai mereka kenal lagi setelah pemerintahan Presiden Soeharto mengajak warga menanam padi dan mulai menjadi nasi sebagai makanan pokok.
Generasi berganti, sampai pada Sumarsih dan kakak-kakaknya tetap menikmati tiwul. Di keluarganya, tiwul bergantian dengan nasi. Terkadang berbarengan makan nasi dan tiwul, dan tentu sayur dan lauk-pauk yang menemani sekadarnya.
Sumarsih dan keluarga besarnya sehari-hari bercocok tanam singkong atau ubi kayu, sama halnya dengan warga Tambah Subur umumnya. Singkong benar-benar menjadi andalan keluarga. Dari singkong pula, Sumarsih membuat makanan berbahan singkong semacam cenil di pasar pagi buka yang buka Cuma satu jam dalam sehari. Penganan cenil ini lazim dikenal di masyarakat Jawa.
Beberapa perempuan tetangga Sumarsih juga menjual penganan lain berbahan singkong seperti getuk. Program pendampingan oleh Masyarakat Mandiri – Dompet Dhuafa mengajak potensi para perempuan ini dengan menggali sumber daya local yang mereka miliki. Kelompok Jaya Makmur yang beranggotakan perempuan memiliki ide mengembangkan tiwul agar bisa dikonsumsi pembeli yang rumahnya jauh sekalipun. Gagasan mereka juga didorong karena semakin langkanya tiwul.
“Boleh dibilang, sekarang tiwul mulai punah. Kita mikir bikin tiwul instan, biar orang yang butuh mudah mencari. Alhamdulillah, orang-orang yang beli datang dari jauh. Orang mulai kenal dan mencari ke sini. Orang sekarang kan pilih enaknya,” ujar Sumarsih.
Ya, tiwul instan. Selama ini orang belum ada yang sengaja menjual tiwul yang bisa diproduksi secara instan. Kelompok pimpinan Sumarsih memang belum memasarkan ke luar desa. Tapi, orang yang butuh mendatangi rumah kakaknya yang dijadi tempat produksi tiwul instan tak jauh dari rumah Sumarsih. Para peminat tiwul instan ini di antaranya para penderita diabetes, karena kadar gula tiwul tergolong cukup rendah.
“Kami inginnya sih bisa memasarkan tiwul instan ke mana-mana. Di desa Tambah Subur ini saja mulai jarang yang membuat tiwul karena sudah ada nasi,” tambah Sumarsih.
Dengan inovasi produksi makanan berbahan singkong ini, Sumarsih dan rekan-rekannya ingin meningkat dari sisi perolehan pendapatan. Ia berharap keadaan ekonomi yang pas-pasan bisa mulai membaik. Baru tahun kemarin, ia sempat menelan pil pahit. Anaknya yang lulus SMP tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA. Si bocah harus mengalah pada adiknya yang baru masuk SD. Sumarsih dan suaminya tak sanggup mengeluarkan biaya buat sekolah dua anak secara bersamaan.
Sumarsih dan petani singkong umumnya di Desa Tambah Subur mencintai dunia pertanian yang diretas oleh para orang tua mereka. Kelompok-kelompok yang menyokong pengembangan pertanian dan pengolahan turunan singkong dibentuk untuk membuka peluang-peluang dan harapan baru yang lebih baik.
{fcomment}
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!