Tanjung Mas, antara Ironi dan Potensi

Foto : Karyawan Kawasan Industri Tanjung Mas melewati genangan air sisa banjir

Mendengar kata Tanjung Mas pasti yang diingat pertama kali adalah sebuah pelabuhan besar yang ada di Semarang. Tidak salah memang karena Tanjung Mas memang menjadi salah satu ikon kota Semarang. Kawasan Tanjung Mas juga menjadi pusat perekonomian karena di situ juga terdapat kawasan industri. Pelabuhan Tanjung Mas sendiri terdapat di Kelurahan Tanjung Mas di Kecamatan Semarang Utara.

Seperti halnya permasalahan wilayah pesisir lainnya, problematika yang sering terjadi adalah banjir. Apalagi jika terjadi pasang dipastikan terjadi banjir Rob. Rob sangat perpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. “Klo nggak banjir warung rame, yang mo berangkat pada mampir sarapan. Tapi klo lagi banjir kayak sedikit yang jajan. Ini masih ahamdulillah, tapi kalo banjir lagi tinggi. Sama sekali nggak ada yang beli“, jelas Sofie salah satu pedagang.

Banjir ini menjadi masalah tidak kunjung selesai, permasalahan drainase dan serapan air masih menjadi pangkal permasalahnnya. Jika tidak segera di selesaikan akan sangat berpengaruh pada ekonomi masyarakat. “Dulu di sepanjang jalan ini (Jl. Ronggowarsito) rame pada dagang, sekarang tinggal sedikit” ungkap Tatik, Pedagang Tahu Gimbal.

Selain itu penurunan tanah juga menjadi permasalahan tersendiri. Penurunan tanah terjadi bervariasi antara 6,5 sampai 8 cm/tahun. Masyarakat harus selalu meninggikan bangunan untuk agar setara dengan jalan. Jika tidak,ketika hujan dan banjir rumah akan tergenang dengan cepat.

Disamping itu Tanjung Mas sebagai kawasan pelabuhan dan industri memunculkan peluang ekonomi baru. Selain membuka lapangan kerja untuk masyarakat sekitar juga membuka peluang wirausaha bagi mereka yang tidak bisa bekerja di pabrik. Karyawan  di pelabuhan dan industri kebanyakan berasal dari daerah luar Tanjung Mas bahkan dari luar Semarang. Kondisi itu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat dengan membuka kost-kostan.

Banyaknya kost-kostan memunculkan usaha baru masyarakat yaitu warung makan yang menyediakan makanan siap santap. Pemandangan banyaknya warung/lapak makanan  sarapan tersaji setiap pagi. Para pedagang menjajakan dagangannya di jalan utama kampung. Para karyawan sebelum berangkat biasanya mampir sarapan dulu di warung tersebut. Selain harganya yang murah meriah juga praktis menurut mereka.

Omzet pedagang berkisar antara 300-500 ribu/hari dengan waktu berdagang yang singkat. Mereka berdagang nasi rames, nasi kuning dan lauk pauk. Mereka mulai membuka lapak/warung jam 05.30-08.00 setiap hari. “Saya bisanya buka jam 06.30 sampai sampai jam 08.00. Alhamdulillah dapet Rp. 500.000” ungkap Ciah, pedagang si kuning di Pasar Senggol. “Setelah selesai lanjut lagi layanin pesenan. Lumayan lah.”Imbuhnya.

Potensi ekonomi inilah yang membuat Dompet Dhuafa bersama jejaring ekonominya Masyarakat Mandiri melakukan Program Pemberdayaan Kelompok Pedagang Makanan Sehat. Selain peningkatan ekonomi program ini juga ingin memberikan pemahaman tentang pentingnya makanan sehat. Banyaknya pedagang dan banyaknya pelanggan membuat masyarakat tidak kritis terhadap higienitas makanan yang disajikan. Karena kebanyakan pembeli lebih condong kepada harga yang murah, para pedagang hanya berfikir yang penting laku.

Jika tidak dilakukan pemahaman dan dikemudian hari muncul kasus sakit karena makanan yang tidak sehat yang akan dirugikan adalah kedua belah pihak. Pembeli takut untuk membeli ssehingga pedagang akhirnya bangkrut karena tidak ada yang membeli. Ekonomi masyarakat akan terganggu. Inilah kemudian Dompet Dhuafa menempatkan satu orang pendamping untuk terus memberikan penyuluhan dan memberikan solusi langsung terkait usaha yang dilakukan.

{fcomment}

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.