Berikut ini adalah artikel yang termasuk kategori Kisah Pemberdayaan

Peternak Kendal, jadi Suplier Kurban Nasional

Kendal (9/4). 13 peternak Kendal yang tergabung dalam binaan yayasan Nurul Ummah Kendal merupakan suplier program qurban Dompet Dhuafa.Dompet Dhuafa sendiri merupakan Lembaga Amil Zakat Nasional yang sudah terdaftar di Kementerian Agama RI.  “Ini merupakan kebanggaan tersendiri, karena dari 35 kabupaten se Jawa Tengah, hanya sekitar 5 kabupaten yang menjadi mitra qurban melalui lembaga mitra yang sudah kerjasama’’ terang Arif Fajar Hidayat selaku Koordinator program Mitra.

Kerjasama suplier program qurban Dompet Dhuafa , dituangkan dalam MoU antara Yayasan Nurul Ummah kendal selaku mitra pemberdayaan dengan Masyarakat Karya Mandiri  selaku vendor suplier program qurban Dompet Dhufa. “Pada tahap awal sudah diakadkan pengadaan qurban sebanyak 115 ekor tambah Arif. Nantiny vendor KMM merupakan satu-satunya penyuplai hewan kurban Dompet Dhuafa. “Jumlah hewan yang diakadkan, jelas sudah langsung terbeli selama sesuai spesifikasi yang sudah diakadkan” terang Arif.

Program Qurban yang digagas oleh Dompet Dhuafa bernama Tebar Hewan Kurban. Program ini merupakan kombinasi antara pemberdayaan dan distribusi hewan kurban di wilayah mitra. “jadi mitra pemberdayaan mendapat amanah untuk memberdayakan peternak lokal untuk supply hewan ternak dan juga mendistribusikannya.” Jelas Arif.

Untuk pemberdayaan peternak sendiri tersebar di 4 kandang di wilayah yang berbeda, yaitu di desa Gonoharjo Kecamatan Limbangan, Desa Kebonharjo Kecamatan Patebon, Desa Sukorejo Kecamatan Sukorejo dan Desa gedong Kecamatan Patean. Adapun jenis hewan yang dipelihara adalah domba dengan 2 spesifikasi. Yaitu domba standar dengan bobot minimal 25-29 kg dan domba premium dengan bobot 30 kg ketas.selain syarat bobot, hewan ternak harus jantan, sehat,tidak cacat, cukup umur dan bebas dari penyakit. Untuk memastikan kondisi hewan ternaknya secara reguler diadakan monitoring hewan ternak langsung darikantor Dompet Dhuafa Pusat.

Program pemberdayaan qurban ini langsung bisa dirasakan manfaatnya. Hal ini dikarenakan peternak yang terlibat dalam program ini akan didampingi dan diberikan pengetahuan manajemen ternak modern. “Kalau tidak mengkuti program pendampingan yang dilakukan, peternak tidak boleh ikut program pemberdayaannnya. Karena Standar Operasional Prosedur sudah ada dan harus dilakukan untuk mengejar spesifikasi yang ada” jelas Arif. Selain itu, dengan mekanisme ini juga menguntungkan para peternak. Harga jual yang ditawarkan juga menguntungkan peternak, karena dihargai dengan harga tinggi. Hal ini terjadi karena program qurban ini bisa memangkas alur distribusi dan langsung mempertemukan peternak dan pembeli dalam jumlah besar.

Untuk distribusi hewan qurban, program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa ini juga sangat menarik. Meskipun dibeli oleh Lembaga Nasional, tetapi untuk pendisribusiannya diamanahkan ke mitra. Dari 115 ekor domba yang dipelihara telah dialokasikan untuk didistribusikan ke beberapa wilayah di Kabupaten Batang, Kabupaten Pemalang dan KabupatenKendal. Adapu kriteria wilayah yang mendapat distribusi hewan qurban, adalah wilayah prioritas yaitu daerah miskin, tertinggal, pedalaman, daerah belum/tidak ada hewan kurban, daerah bencana alam dan tragedi sosial lainnya. Selain daerah prioritas distribusi juga dilakukan untuk  panti jompo, panti asuhan dan masjid-masjid, pesantren dan majelis taklim.

Sementara itu menurut Hasan Isnaeni (46 tahun) salah satu peternak binaan selama 6 tahun mengungkapkan bahwa dirinya dan kelompoknya selain mendapatkan keuntungan ekonomi juga mendapat manfaat lainnya. Diantaranya peningkatan ilmu beternak, jaringan yang bertambah luas dan yang paling penting bisa berbagi sesama. “Selain diamanahi sebagai peternak, juga diamanahi sebar hewan di daerahya sendiri. Sekarang berkat program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa, bisa memancing warganya untuk berkurban selama idul adha” tambah Hasan. (KMM/Arif/Hasan)

Pemberdayaan TKI Purna di ‘Bumi Sukowati’

Kabupaten Sragen adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat.

Kabupaten ini dikenal dengan sebutan “Bumi Sukowati”, nama yang digunakan sejak masa kekuasaan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Nama Sragen dipakai karena pusat pemerintahan berada di Sragen.

Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini merupakan gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa Tengah, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta api lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Yogyakarta-Jakarta) dengan stasiun terbesarnya Sragen, serta lintas Gundih-Solo Balapan dengan stasiun terbesarnya Stasiun Salem di Gemolong.

Bagi anda yang pernah melalui Sragen saat mudik, perjalanan dinas, atau keperluan lainnya melalui jalur darat akan disuguhkan oleh pemandangan berupa hamparan sawah hijau yang membentang sepanjang jalur Kabupaten Sragen. Pemandangan ini memberikan sebuah informasi bahwa Sragen manjadi salahsatu kota di Jawa Tengah yang sebagian besar masyarakatnya mempunyai profesi sebagai petani.

Namun profesi petani belum bisa menopang kehidupan masyarakat Sragen. Banyak diantara mereka yang kemudian mengadu nasib keluar negeri menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Sragen menjadi salah satu kota yang menjadi penyalur TKI terbesar di Jawa Tengah. Menurut data yang diperoleh dari BNP2TKI, jumlah TKI yang berasal dari Sragen pada tahun  2015 mencapai 1.100 orang yang tersebar di Hongkong, Malaysia, Taiwan, Korea, dan Jepang. Salah satu sumber bank pemerintah menyebutkan hingga Juni 2015, kiriman uang dari TKI Sragen sudah mencapai Rp 45,350 miliar melalui 10.576 transaksi.

Persoalan buruh migran di Indonesia seakan tidak kunjung usai, sejak proses keberangkatan (pra penempatan), penempatan kerja diluar negeri maupun pada saat kembali lagi ke tanah air (purna). Setidaknya indikator tersebut terlihat dari masih tingginya pemberitaan terkait permasalahan buruh migran (TKI) dalam ketiga proses tersebut dan secara faktual pun hal itu memang benar terjadi.

Dibalik banyaknya persolan yang muncul, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan buruh migran mempunyai nilai positif yang sangat besar bagi negari ini. Data pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI menunjukkan remitansi TKI mencapai 8,6 USD juta atau setara  dengan Rp 119 Triliun. Remitansi terbesar berasal dari TKI yang bekerja di kawasan Asia Seperti Malaysia, Taiwan, dan Hongkong. Disusul dari negara-negara Timur tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirates Arab, Kemudian Amerika dan Eropa serta Australia. Data Puslitfo BNP2TKI juga menunjukkan remitansi yang diperoleh dari TKI setiap tahunnya semakin meningkat.

Sementara itu BNP2TKI tiap tahunnya berupaya terus meningkatkan jumlah penempatan TKI formal dibanding TKI informal. Data per Desember 2015 menyebutkan dari 275.736 TKI yang bekerja keluar negeri, sebanyak 55% adalah TKI yang bekerja di sektor formal, sedangkan 45% sisanya bekerja disektor nonformal. Ini senada dengan rencana strategis BNP2TKI yang terus berupaya meningkatkan jumlah penempatan TKI formal dibanding TKI informal.

Cukup besarnya nilai devisa yang diberikan buruh migran, setidaknya dapat mendorong pemerintah untuk melakukan program pemberdayaan yang terintegrasi khususnya pada saat buruh migran kembali ke tanah air. Hal tersebut agar mereka tidak kembali lagi ke luar negeri atau cukup berusaha didalam negeri dengan fasilitasi stakeholders terkait.

Khusus untuk membantu buruh migran yang telah selesai masa kerjanya di luar negeri, Karya Masyarakat Mandiri – Dompet  Dhuafa turut berpartisipasi atau berkontribusi dengan menginisiasi program pemberdayaan bagi buruh migran purna. Program tersebut selain dalam kerangka advokasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh buruh migran juga sebagai upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya dalam aspek ekonomi. Artinya Dompet Dhuafa berharap buruh migran purna tersebut dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya dalam upaya mendukung usaha dan kemandirian ekonomi keluarga.

Pendampingan intensif menjadi salah satu pilihan bijak sampai pada fase transformasi kesadaran komunitas dampingan untuk berubah dengan sumberdaya mereka sendiri. Dibutuhkan strategi dan komponen program yang tepat agar proses pemberdayaan bisa berjalan seiring dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kendati demikian, membangun kapasitas individual atau sosial bukan hal mudah, karena masyarakat miskin, lemah pada hampir semua sisi kehidupan. Karena itulah, perlu kesabaran dan waktu yang panjang dalam mewujudkan keberdayaannya.

Agar program bisa berjalan dengan baik,  strategi yang dijalankan untuk mempermudah proses atau kegiatan selama program berjalan antara lain Pendampingan langsung di tengah komunitas (live in & base on community), Program pengembangan ekonomi lokal dengan penumbuhan klaster usaha, Pembentukan kampung TKI berbasis potensi dan komunitas, Peningkatan keterampilan dan penyadaran komunitas melalui pembinaan dan pelatihan terpadu, Bantuan teknis program dalam hal penerapan teknologi tepat guna (TTG), dan Penguatan akses dan jaringan pemasaran.

Beberapa komponen program yang mendukung kegiatan program TKI Purna antara lain Pembiayaan usaha mikro berbasis kelompok dan koperasi, Pengembangan informasi dan teknologi tepat guna, Pemupukan modal swadaya, Pembangunan jaringan dan sinergi, Peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Pengembangan kelembagaan komunitas yang berbadan hukum koperasi, dan Penumbuhan dan penguatan usaha bersama koperasi. (KMM/Marisd)

 

Kini Satem Bisa Merehap Rumahnya

Program Pemberdayaan Nelayan Kerang Hijau sudah berjalan selama tiga tahun. Program ini dilaksanakan Keluarga Muslim Citybank (KMC) bekerjasama dengan Dompet Dhuafa (DD) di Kp. Rujakbeling, Kelurahan Margaluyu, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Manfaat program telah dirasakan oleh mitra penerima manfaat, salah satunya adalah Satem.

Mitra yang satu ini walaupun memiliki kepribadian yang kalem, namun ia selalu punya ide dan saran untuk kemajuan Koperasinya. Gagasan tersebut sering  ia tuangkan dalam forum pertemuan bulanan mitra Koperasi Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Sinar Abadi. Terlihat bagaimana ia mengarahkan dan memberi usulan agar terjadi kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama koperasi.

Satem terkenal juga dengan wanita pekerja keras, diantara seluruh wanita di daerahnya hanya beliau yang terlihat ikut melaut membantu suaminya memanen kerang hijau. Untuk Memanen kerang hijau membutuhkan energi  dan tenaga  yang kuat, dan biasanya hanya kaum adam yang melakukannya.  Karena semangat dan kegigihannya ingin memperbaiki kehidupan keluarganya,  wanita “perkasa”  ini ikut beserta suami dan anaknya melaut pagi-pagi untuk memanen bagan yang dimilikinya.

“Profesi saya sebelumnya ngupas kerang, pendapatan ngupas saya gunakan buat tambahan makan dan biaya hidup sehari hari.  Akhir tahun 2015 sejak  memiliki bagan kerang hijau sendiri, bagan tersebut saya kelola sendiri beserta suami,” ujar Satem saat ditemui Pendamping  saat memanen bagannya. Bagan yang di kelola Satem merupakan bantuan program Pemberdayaan yang dilakukan oleh KMC dan Dompet Dhuafa.

Ia mengaku setelah mengikuti program ini, pendapatannya naik signifikan yang tadinya ia memperoleh pendapatan rata 15 ribu sampai 20 ribu perhari, kini ia bisa mengumpulkan 100 -150 ribu perhari.

“Ibu-ibu anggota yang lain juga senang dengan program ini”,  Ujarnya. “Kalau dulu, ibu-ibu hanya dapat upah dari hasil mengupas kerang dan itupun tidak setiap hari, syukur-syukur kalo  hasil panennya banyak. Kalo sedikit ya sedikit pula uang yang dibawa pulang. Kondisi sekarang berbeda drastis, selain dapat upah dari kerang yang banyak, mereka juga dapat bagi hasil dari hasil panen kerang tersebut, dobel deh pendapatanya,” tambah Satem.

Satem bisa sedikit demi sedikit merehab rumahnya, karena berkah pendapatan bagan kerang. Ia juga dapat fasilitas pinjaman lunak dari Koperasi ISM Sinar Abadi untuk membeli perahu kecil yang ia gunakan sebagai kendaraan operasional panen kerang. (Livson)

Dedikasi Munipah, 15 Tahun Menjadi Bagian “Masyarakat Mandiri” Dompet Dhuafa

Foto: Almarhumah Munipah saat memberikan sambutan kegiatan pembagian sembako (11/06) di Caringin, Bogor

Usaha untuk perbaikan lembaga adalah dengan menjadi pribadi yang tidak hanya lelah di siang hari dengan pekerjaan, tetapi juga mendekatkan diri dengan Allah di malam hari”.

Itulah pesan terakhir yang Desi Sonya ingat dari Munipah saat rapat terakhir pada dua pekan lalu. Direktur Eksekutif Masyarakat Mandiri itu selalu mengingatkan Desi tentang keseimbangan hidup. Tidak hanya antara manusia dengan Tuhan tetapi juga antara peran diri sebagai ibu di keluarga juga sebagai pengabdi untuk masyarakat.

Desi yang saat ini menjadi Marketing dan Bisnis Masyarakat Mandiri mulai mengenal Munipah pada 2008. Ia mengenal Munipah sebagai orang yang semangat di pemberdayaan komunitas. Sosok Munipah dikenal sebagai pribadi yang ramah, serta tulus dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya.

Sudah tujuh tahun Desi mengenal Munipah. “Dia adalah sahabat, kakak, dan mentor terbaik yang saya punya. Darinya, saya belajar soal menyeimbangkan hidup antara bekerja dan mengurus anak. Kami suka berbagi pengalaman masing-masing dalam menjalankan peran saat di rumah dan di kantor”, cerita Desi saat dihubungi via telepon pada Selasa (11/8).

Dalam urusan pekerjaan, lanjut Desi, Munipah pun selalu melihat masalah dari sisi positif. Selalu ada potensi kebaikan dalam setiap masalah. Hal itu juga harus diterapkan di komunitas. Hal senada dirasakan oleh Esti, pengurus koperasi yang diinisiasi Masyarakat Mandiri. Waktu pertama masuk Dompet Dhuafa, prinsip penting adalah merawat jaringan karena masa depan Dompet Dhuafa ada di sana.

Munipah menghembuskan nafas terakhir pada Selasa (11/08) pada 00.30, pasca melahirkan anak ketiga di sebuah rumah sakit. Diakui oleh Desi, Munipah begitu bahagia saat mengetahui bahwa dirinya mengandung (hamil) lagi. Almarhumah berpulang dengan meninggalkan suami dengan tiga anak. (sumber : www.dompetdhuafa.org)

{fcomment}

 

Para “Kartini Mandiri” Tumbuh Bersama Program Pemberdayaan Dompet Dhuafa

Meski ditakdirkan menjadi penyandang difabilitas sejak lahir, tak membuat Neneng Sukmawati (33), surut langkah dalam menjalani hidup. Hari demi hari pun ia jalani dengan berbagai usaha, meski memiliki keterbatasan fisik, baginya semua itu bukanlah penghalang untuk tetap melanjutkan hidup.

Perempuan yang akrab disapa Neneng ini, menghabiskan masa kecilnya di Karawang sampai lulus SD. Memasuki awal 1999, Neneng berkeinginan untuk hidup mandiri dan tidak bergantung kepada keluarganya. Ia pun menjadi penghuni Panti Sosial Bina Daksa Satria Utama di Cengkareng Jakarta Barat.

Di tahun 2008 Neneng risau dengan kondisi dirinya, ia ingin bisa hidup mandiri, ingin bekerja menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selama ini biaya hidup sehari-hari ditopang oleh kakak angkat dan keluarga yang lain. Suatu ketika Neneng mendapat info, ada seorang difable bernama Paini, tinggal di Bekasi yang siap menampung penyandang difable lain yang ingin belajar untuk bisa hidup mandiri.

Paini memiliki usaha berjualan makanan ringan dan makanan olahan dengan memberdayakan kaum difable lain. Paini memberi tempat tinggal dan makan gratis di rumah kontrakannya di daerah Rawa Lumbu Bekasi. Selama 1.5 tahun Neneng ikut menumpang hidup di Rumah Paini. Dengan berbekal ketrampilan menjahit yang diperoleh di Panti dulu Neneng mulai membuka usaha jahit kecil-kecilan.

Sampai kemudian di April 2013 Dompet Dhuafa melalui Masyarakat Mandiri mengadakan program Pendampingan Ekonomi Komunitas Difable. Melalui program pendampingan ekonomi untuk komunitas difable ini, Neneng mendapatkan bantuan modal senilai 3 juta Rupiah. Ini digunakan untuk membeli mesin jahit baru beserta perlengkapannya yang disetting khusus untuk penyandang difable seperti Neneng.

Program ini juga menfasilitasi Neneng dan teman-teman difable dalam peningkatan kapasitas melalui kegiatan pelatihan seperti pelatihan kewirausahaan, pelatihan managerial koperasi dan pelatihan pengeloaan aneka usaha. Dengan adanya pendamping mandiri yang tinggal di komunitas, Neneng juga merasakan kebahagiaan tersendiri.

“Saya bisa curhat seakan seperti keluarga sendiri, saya juga merasakan saya ini dibantu tetapi mereka (Dompet Dhuafa dan para pendamping) tidak pernah merendahkan saya dalam posisi orang yang dibantu. saya terus dimotivasi agar kelak usaha saya maju dan berkembang,” ungkap Neneng.

Melihat semangat kepedulian yang ditunjukkan para ibu tangguh penerima manfaat program pemberdayaan Dompet Dhuafa ini, seharusnya menjadikan cambuk bagi negeri ini terutama pemerintah dalam mewujudkan mimpi-mimpi mereka layaknya seorang warga negara terhormat. Semoga saja, usaha dan ikhtiar “Kartini Mandiri” mampu menjadi suntikan semangat, bagi para ibu tangguh di luar sana untuk mampu berdaya. (www.dompetdhuafa.org)

{fcomment}

 

 

 

Parwi, Disabilitas Ulet dan Mandiri

Katerbatasan fisik  sering menjadi alasan orang untuk menyerah pada keadaan. Semua dipasrahkan kepada Yang Maha Kuasa seolah-olah tidak ada harapan. Maka tidak heran jika munculah pengemis dengan mengandalkan keterbatasan fisiknya untuk mengiba belas kasihan orang.

Tidak sedikit penyandang disabilitas mampu keluar dari tekanan hidup, dan tidak mau hanya menjadi beban hidup orang lain. Salah satunya adalah Parwi, penyandang disabilitas tuna netra yang tinggal di bilangan Kramat Jati. Mengalami kebutaan semenjak lulus SMA, ia terus berusaha mandiri agar tidak menjadi beban orang tua. Ia memutuskan merantau ke Jakarta pada tahun 1988.

Sedikit kemampuan memijat ia jadikan bekal merantau. Tapi kecerdasan finasialnya, membuat ia melirik peluang usaha lain yaitu jual beli motor bekas. Kemudian ia juga membuka jasa perpanjangan surat-surat kendaraan bermotor. Ia memperluas usahanya,  ia merambah usaha penyediaan jasa elektronik. “Dulu pernah jualan motor bekas, terus buka jasa perpanjangan STNK. Banyak yang ninta tolong kebanyakan dari Jawa ada juga  yang dari Sumatera. Terus daya usaha kredit elektronik, saya kerjasama dengan personalia perusahaan. Saya datang ke kantor, kemudian saya jelasin Alhamdulillah di acc. Alhamdulillah penghasilannya lumayan” terang Bapak dua anak ini.

Usahanya mulai mengalami surut karena mulai menjamurnya kartu kredit dengan bunga 0%. “Usaha saya mulai berhenti ketika  mulai menjamur kartu kredit dengan bunga 0%. Padahal sama aja, sebelum beli harga pada dinaikin dulu. Akhirnya saya tarik semua asset saya total sebesar 600 juta’”, ungkap Parwi.

Tidak patah arang, ide bisnisnya menggelora. Ia kemudian membuat kos-kosan di di Solo, Kota Kelahiran Istri nya. Ia juga menyewakan lahan depan rumahnya pada sebuah percetakan. Hasil usahanya bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Ditengah kesuksesannya dalam hidup, ia tidak lupa kepada sesama penyandang disabilitas. Ia selalu memperjuangkan teman-temannya untuk mendapat perhatian dari pemerintah. Walaupun terkadang mendapat cibiran, tapi ia tidak putus asa.

Sekarang ia menjadi mitra program Pemberdayaan Ekonomi Penyandang Tuna Netra yang digulirkan oleh Masyarakat Mandiri (MM) Dompet Dhuafa (DD). Bersama program ini Parwi ingin membantu teman-teman masih kekurangan, ia ingin mengangkat harkat penyandang disabilitas seperti dirinya sehingga tidak dipandang sebelah mata. “Saya ingin koperasi yang dibentuk nanti bisa memberikan bantuan produktif kepada teman-teman. Teman-teman kebanyakan hanya mengandalkan pijat, hasilnya juga tidak menentu, dan tempatnyapun masih ngontrak. Terkadang klo kontrakan habis masanya, nggak ada uang untuk ngontrak lagi kan kasihan. Itukan sumber penghidupan utama mereka”,terangnya.

Cita-cita yang harus di teladani bagi kita yang di berikan keadaan lebih baik. Semoga mampu memberikan #inspirasiuntuknegeri

{fcomment}

 

 

 

Buah Perjuangan Murtiningsih selama 23 tahun

Sejak suaminya meninggal dunia tahun 1992, Murtiningsih memulai usaha jualan nasi kuning. Kondisi ekonomi dan menyandang status single parent membuatnya menjadi perempuan tangguh. Ia hanya berfikir bagaimana anak-anaknya bisa makan dan sekolah. ‘Suami saya meninggal tahun 92, dari situ saya mulai usaha ini (nasi kuning). Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak”, ungkap ibu 3 anak ini.

Perjuangannya selama 23 tahun tidak sia-sia, sekarang ketiga anaknya sudah mandiri. “Alhamdulillah sekarang anak-anak saya sudah bisa mandiri. Yang pertama sudah menikah, yang kedua sudah kerja sebagai lab. Analis di RS, Telogo Rejo yang bungsu sedang kuliah sambil kerja” paparnya. Rasa bahagia jelas terpancar dari wajahnya.

Diusianya yang memasuki kepala enam, idealnya sudah menikmati hari tua apa lagi semua anaknya sudah mandiri. Tapi ia tidak mau berdiam diri dan menunggu  ‘jatah’ dari anak-anaknya. Ia terus bekerja sama seperti dulu, seolah-olah tidak ada capeknya. “Saya klo diam malah capek, suntuk. Jadi harus gerak biar sehat. Makanya saya tetep buka warung ”ungkap De Murti, begitu ia di sapa oleh pelanggannya.

Setiap harinya ia membuka warung nasi kuning di pinggir jalan dekat rumahnya. Warungnya mungilnya berdiri di tanah milik PT KAI yang diberikan hak guna saja untuk masyarakat sekitar. Lokasi tersebut cukup ramai, karena  dilalui para  buruh pabrik di kawasan industri Tanjung Mas. Ia membuka warung mulai dari jam 06.00 sampai pukul 08.00, karena waktu-waktu itulah saat para buruh pabrik beraktivitas. Murtingsih menyiapkan dagangannya sejak pukul 02.00 dini hari. Dan itu ia lakukan setiap hari.

Ia mempunyai pelanggan tetap, yang setiap pagi setia berbelanja di warungnya. Dari hasil jualannya ia putar lagi untuk modal, sisanya ia sisihkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan menopang aktivitasnya sebagai ‘sosialita’. “Sehari-harinya saya dapet 200 ribu. Alhamdulillah untuk tambah-tambah lah. Kan biasa ibu rumah tangga di kampung banyak kegiatanya. Arisan, PKK, dasa wisma dan pengajian. Sedikit-sedikit juga diinfaqkan”, tandasnya.

Murtiningsih termasuk wanita aktif di kampungnya. Ia sering ikut kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Sekarang ia juga aktif sebagai mitra program Pemberdayaan Kelompok Pedagang Makanan Sehat di wilayah Tanjung Mas Semarang Utara. Program ini dilaksanakan oleh Dompet Dhuafa (DD) dan jejaring ekonominya yaitu Masyarakat Mandiri (MM)

Ia senang bisa ikut program ini karena selain mendapat tambahan modal untuk usahanya ia juga mendapatkan pelatihan tentang kemanan pangan, mendapat pembinaan dan pendampingan.

Kini ia mempunyai usaha tambahan yaitu warung sembako yang ia buka dirumahnya. Ia membuka warung setelah selesai berjualan nasi kuning. Ia masih ingin terus membuka usaha selama ia mampu. #inspirasiuntuknegeri

{fcomment}

Luluk, Si Pendiam yang Menginspirasi

Namanya Luluk Khisbiyah, Biasa dipanggil Luluk. Ia lahir di Jombang 28 tahun yang lalu. Ia menjadi pendamping program pemberdayaan sejak tahun 2010. Menjadi sebuah pengalaman luarbiasa ketika ia menjadi pendamping msyarakat, karena dengan pengalaman itu ia merasa ada perubahan dalam dirinya.

Ketika awal menjadi pendamping ada kekhawatiran dalam dirinya, jika bertemu dengan masyarakat apa yang akan disampaikan, bagaimana cara penyampaian yang baik?maukah masyarakat mendengarkannya?banyak pikiran-pikiran yang ada dikepala. Namun, semangatnya untuk belajar membuat ia akhirnya mengambil tantangan menjadi pendamping program pemberdayaan.

Menjadi pendamping masyarakat baginya mampu membuka wawasan tentang bagaimana hidup bermasyarakat, bagaimana bergaul di masyarakat dalam satu komunitas dari orang biasa sampai pemangku kepentingan. Baginya menjadi pendamping menjadi pekerjaan yang unik, karena tidak sekedar bekerja namun juga menjadi ibadah. Pendamping tidak sekedar melaksanakan tugas atau SOP program namun pendamping dituntut mampu menjadi teladan bagi masyarakatnya. Mampu memberikan ilmu-ilmu selama kuliah , kepada masyarakat. Dalam program tidak melulu masalah ekonomi namun juga pendidikan, sosial dan penanaman mindset.

Pendampingan program klaster Mandiri Tuban dimulai pada tahun 2011 di Desa Wolutengah dan Desa gaji. Awal masuk wilayah dampingan agak kaget karena berbeda dengan kondisi sebbelumnya. Di dua wilayah ini masih lumayan pelosok yang masih kental dengan adat jawa, wajah-wajah khas pedesaan, masih banyak ibu-ibu yang berpakaian tradisional, bangunan-bangunan rumah yang masih banyak terbuat dari kayu, beralaskan tanah, banyak masyarakat yang memelihara anjing, kesenjangan sosial yang tinggi. Yang saya kagumi di wilayah dampinga ini  jiwa gotong royong masih tinggi.

Mayoritas matapencaharian masyarakat setempat adalah bertani, bertani mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Jenis tanaman yag dibudidayakan diantaranya adalah jagung, kacang dan ketela pohon. Hampir seluruh petani didesa ini menanam ketela pohon lantaran kondisi tanah dan ketersediaan air yang mendukung dan cocok untuk ditanami ketela pohon, maka tak jarang banyak penduduk yang memang sudah mengolah ketela pohon menjadi produk turunan berupa krupuk singkong, kripik singkong dan uyel (terbuat dari tepung gaplek).

Merintis program pemberdayaan di wilayah ‘antah berantah’ memang tidak mudah. Perlu penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Perbedaan karakter, kebiasaan membutuhkan waktu untuk proses adaptasi. Belum lagi dalam masyarakat sendiri juga mempunyai karakter yang berbeda. Perbedaan karakter terkadang memunculkan riak-riak kecil di kelompok. Disitulah peran pendamping sangat dibutuhkan, tidak gampang menyelesaikan permasalahan antar mitra.

Namun kebanyakan mitra agak segan kalo pendamping yang berbicara, faktor orang luar dan dipandang ‘lebih pintar’ berpengaruh terhadap kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan. Ia juga bersedia datang ke pertemuan mitra yang dilaksanakan pada malam hari, dengan sabar ia mengikuti pertemuan sampai selesai. Terkadang baru selesai jam 9 malam. Pertemuan rutin dilakukan setiap 2 minggu sekali di masing-masing kelompok. Pertemuan rutin selain membahas investasi juga penyampaian materi tentang motivasi usaha, bussiness plan

Sifat keibuan yang ia miliki membuatnya mampu ‘ngemong’ mitra tanpa harus menjaga jarak dengan mitra. Terlihat bagaimana ia mampu mengkomunikasikan setiap program dengan baik, dan mitra dapat menerima. Ia juga punya jiwa sosial yang bagus, ia memberikan pelatihan komputer grtais kepada mitra. Keterbatasan sarana tidak membuatnya menjadi patah semangat, ia mengajar komputer secara bergantian.

Pengabdiannya selama 3 tahun membuahkan hasil sampai saat ini jumlah mitra yang berhasil ia ajak untuk mengikuti program sebanyak 10 kelompok dengan jumlah mitra 77 yang  dibagi 2 desa yaitu Desa Wolutengah dan Desa Gaji dnegan rincian KM Jelita Indah (3 Mitra), KM Mekar Jaya (9 mitra), KM Melati Indah (6 Mitra), KM Mekar Abadi (8 Mitra), KM Gading (7 Mitra), KM Kenanga (8 mitra), KM  Karya Cipta Bersama (11 Mitra), KM Karya Anugerah Bersama (11  mitra), KM Sri Rejeki (9 mitra) dan KM Barokah (5 mitra)

Berkat Kegigihannya sekarang ia tidak sendirian lagi. Sekarang ia dibantu oleh kader lokal yang bisa menggantikan tugasnya ketika ia berhalangan. Mereka adalah pengurus Ikhtiar Swadaya Mitra Al-Hidayah yang dibentuk sebagai lembaga yang yang menaungi kegiatan mitra program klaster mandiri program. Dengan adanya pengurus ISM tidak berarti ia berleha-leha, sekarang ia lebih fokus mengembangkan usaha ISM. Untuk mengembangkan usaha mitra terutama batik khas Tuban, Batik Gedog. Program membuat showroom batik ‘Griya Batik’ untuk memfasilitasi penjualan  batik mitra.

Dibalik sosok pendiamnya ada karakter yang menjadi kelebihan dimana ia mampu menjalin komunikasi dengan pihak diluar program. komunikasi yang sudah dibangun selama ini yaitu dengan Puskesmas Kecamatan Kerek, Dinas Kesehatan Tuban, Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban serta Koperasi Pondok Pesantren Nusya di Kecamatan Merakurak. Sinergi dalam upaya penguatan akses pemasaran batik  juga dilakukan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tuban dan Propinsi Jawa Timur.

Baginya keberhasilan mitra menjadi kebahagiaan tersendiri. Melihat sedikit saja perubahan usaha mitra membuat hatinya berbunga-bunga. Semangat dirinya untuk membuat mitra meningkat kesejahteraannya, ternyata mampu membuatnya keluar dari ‘tempurung’ keraguan akan kemampuan diri.

Kesungguhan dan keihklasannya dalam membangun masyarakat membuat seorang pemuda menaruh hati padanya yang kemudian menikahinya di awal tahun 2014. Sekarang kalau menghadiri pertemuan mitra dimalam hari selalu ditemani oleh suaminya.  {fcomment}

 

 

 

 

 

 

 

Kami Bebas Dari Hutang

“Kalau dulu saya ngutang dulu ke pengepul. Sekarang sudah ada ISM, saya gak lagi ngutang. Biaya sekolah anak gak lagi dari hasil ngutang,” ujar Turinah. Turinah adalah salah satu mitra penerima manfaat program Klaster Mandiri  Kulon Progo DIY yang laksanakan oleh Masyarakat Mandiri  (MM) -Dompet Dhuafa (DD).

Program Klaster Mandiri dilaksanakan pada tahun 2011-2014 di lima propinsi salah satunya di Kulon Progo, Derah Istimewa Yogyakarta.  Program klaster mandiri kulon progo sejatinya sudah selesai atau exit program  pada akhir tahun 2013.

Sejak dimandirikan semua pengelolaan di ‘serahkan’ kepada Koperasi ISM Gempita Mandiri yang memang sengaja dibentuk untuk melanjutkan program secara mandiri oleh masyarakat. Selama 1 tahun setelah exit, koperasi telah membuktikan diri mampu meneruskan estafet pengelolaan program dan mampu memberikan manfaat untuk mitra.

Tursinah merupakan mitra yang merasakan manfaat keberadaan koperasi. Turinah adalah mitra pembuat gula kepala, seharinya  rata-rata memproduksi rata-rata 3-4 kilogram (kg). Setelah mencapai sekitar 14 kg yang biasanya didapat dalam tiga hari, Turinah menjualnya melalui koperasi ISM Gempita Mandiri dengan harga yang lebih tinggi dari harga pengepul.

“Harga satu kilonya Rp 16 ribu. Itu harga yang sekarang setelah adanya koperasi ISM (Gempita Mandiri). Kalo di pengepul  (hanya) Rp 15 ribu per kilo,” terangnya.

Usaha pembuatan gula kelapa ia lakukan bersama suaminya. Suami Tursinah , Tukijo bertugas mengambil nira kelapa sebagai bahan baku pembuatan gula. Dalam sehari Tukijo paling tidak memanjat 15 pohon kelapa di kebun di sekitar rumahnya. “Saya tidak pakai alat pengamanan pas naik. Alhamdulillah sampai sekarang belum pernah jatuh,” ujar pria yang telah melakukan aktivitas panjat pohon kelapa sejak usia 14 tahun ini.

Mengambil nira kelapa merupakan proses awal memproduksi gula semut. Nila yang telah diambil Tukijo dari pohon kelapa setelah seharian ditimbun selanjutnya diproses oleh Turinah di dapur.

“Proses pembuatan gula semut setelah nira selesai dideres (diambil dari pohon kelapa) itu disaring. Lalu ditaruh di dalam wajan terus dipanasi selama 3 jam sampai mengental. Habis itu ditiriskan kemudian diaduk sampai kering,” jelas Turinah.

Tursinah dan Tukijo sekarang merasakan manfaat setelah menjadi anggota koperasi. Selain mendapatkan dukungan berupa modal uang, ia juga mendapat dukungan peralatan produksi seperti wajam, saringan, dll.

“Kalau dulu saya ngutang dulu ke pengepul. Sekarang sudah ada ISM, saya gak lagi ngutang. Biaya sekolah anak gak lagi dari hasil ngutang,” ujar ibu tiga anak ini.

Rasa kebersamaan dan pengetahuan baru pun didapat Turinah selama menjadi penerima manfaat. Hal ini lantaran pemberdayaan ekonomi Dompet Dhuafa berbasis komunitas. Dalam program pemberdayaan yang di lakukan oleh MM-DD dibentuk hierarki organiasi dari mulai kelompok yang terdiri dari 5-10 mitra, kemudian di atasnya ada iInduk yang terdiri dari minimal 2 kelompok dan paling tinggi adalah koperasi.

Dalam setiap hierarki di lakukan pertemuan ari mulai pertemuan mingguan sampai bulanan. Selai  itu juga ada tenaga pendamping yang mendampingi usaha mitra, ini memudahkan penyelesaian masalah-masalah yang terjadi.

Melihat potensi yang masih luas untuk mengembangan usaha gula kelapa, program Klaster Mandiri kulon progo di lanjutkan dengan program pengembangan gula kelapa. Diharapkan dengan program ini aka mampu meningkatkan jumlah produksi dan memperluas akses pemasaran. Sehingga mitra seperti Tursinah dan Tukijo bisa mandiri secara ekonomi. {fcomment}

 

 

 

Catatan Pendamping : “Alloh akan memudahkan urusan saya”

Program klaster mandiri Dompet Dhuafa dilaksanakan di wilayah Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo yang juga menjadi tempat tinggal saya. Hal ini sangat mempermudah saya untuk penguasaan wilayah karena saya paham betul tentang kondisi geografis, sosiologis, adat budaya serta kondisi ekonomi masyarakat. Para pemangku kepentingan mulai dari level dusun sampai kabupaten sebagian sudah saya kenal, hal ini tentu juga mempermudah jalinan koordinasi.

Karena kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat itu bertumpu pada perubahan mindset masyarakat dampingan atas kondisi perekonomian yang mereka alami maka ini tidaklah mudah meskipun berada dilingkungan tempat tinggal sendiri. Desa Kalirejo yang merupakan desa utama dampingan karena kurang lebih 50% warganya berada dibawah garis kemiskinan dan sebagian besar berpendidikan rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi kegiatan pemberdayaa.

Tantangan yang paling besar dihadapi dalam kegiatan pemberdayaan adalah pola pikir masyarakat yang tidak mau berubah, sulit menerima hal-hal yang baru, malas untuk berfikir yang agak rumit dan berat, tidak mau diajak untuk berinovasi, mereka lebih cenderung nrimo ing pandum     ( menerima takdir dari Tuhan ).

Strategi yang saya jalankan untuk menghadapi itu semua adalah berusaha membuat masyarakat merasa senang dulu dengan keberadaan pendamping. fasilitasi  apa yang mereka inginkan meskipun itu bukan merupakan kebutuhan mereka. Karena kata kunci keberhasilan dari seorang pendamping adalah pendamping menyatu dengan masyarakat dan masyarakat sudah merasa butuh dengan keberadaan pendamping. Nah jika kondisi sudah demikian maka transformasi ilmu, transformasi nilai yang kita sampaikan pada masyarakat akan lebih mudah dan mengena.

Strategi yang lain adalah dengan membuat pembanding atau melakukan kegiatan pendampingan yang hampir serupa di wilayah lain. Tentu saja dengan masyarakat yang memiliki jiwa dan karakter kewirausahaan yang lebih tinggi dan lebih baik. Hal ini saya coba dengan melaksanakan pendampingan di desa Hargorejo yang secara geografis bersebelahan dengan desa Kalirejo.

Masyarakat Hargorejo mempunyai semangat kerwirausahaan yang lebih tinggi dibanding masyarakat Kalirejo. Keberhasilan pendampingan yang dijalankan di desa Hargorejo ternyata mampu memacu masyarakat desa Kalirejo untuk bangkit, bahwa kegagalan usaha yang selama ini mereka rasakan bermula dari diri sendiri, semangat yang masih lemah, malas untuk berubah dan tidak mampu melihat peluang. Selain itu untuk memacu semangat masyarakat dampingan yang ada di desa Kalirejo, maka harus ada contoh nyata, paling tidak satu kelompok yang berhasil karena ini akan menjadi acuan kelompok usaha yang lain.

Hal yang paling rentan terjadi dalam sebuah kelompok usaha dan menjadi penyebab kegagalan usaha maupun kelompok adalah konflik pribadi, konflik internal dan konflik antar kelompok. Disini pendamping harus mampu berdiri pada posisi netral, pendamping harus mampu memberikan solusi tanpa menggurui. Dalam penyelesaian konfik tidak boleh menimbulkan dikotomi menang kalah dan benar salah, karena dalam kegiatan pemberdayaan yang ada hanyalah belajar, belajar dan belajar.

Saya selalu mempunyai impian bahwa masyarakat yang saya dampingi dapat tetap menjaga keutuhan kelompok, tetap menjaga silaturahmi antar mitra dan antar kelompok, karena ini menjadi kunci dari keberhasilan usaha. Masyarakat yang egois, masyarakat yang individualis sesungguhnya adalah masyarakat yang rapuh meskipun mereka kuat secara ekonomi. Ide, gagasan dan kreatifitas usaha baru akan selalu muncul ketika masyarakat dampingan masih bisa menjaga kekompakan dan tali silaturhami.

Setelah program pemberdayaan masyarakat selesai, bukan berarti aktivitas pemberdayaan berhenti, sampai saat ini saya masih mendampingi masyarakat meski sudah tak seintensif dulu. Saya masih terjun langsung ketika mitra maupun kelompok menghadapi kendala dan persoalan dan itu semua tanpa ada yang menggaji. Bagi saya itu adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral, dan  saya mempunyai pandangan bahwa “Allah akan memudahkan segala urusan saya, ketika saya juga memudahkan urusan orang lain” Semoga, amiin. (WH)

{fcomment}