Ngos-ngosan

 Gito, Pendamping Mandiri di Pacitan hampir tiap hari dibuat ngos-ngosan. Desa Mantren tempatnya mengabdi, medannya gunung batu. Tidak saja menanjak, kadang juga harus mendaki untuk menuju sebuah tempat. Kelompok warga yang didampingi tersebar di beberapa dusun. Antar dusun dijaraki jalan bebatuan, kebun dan batu raksasa, penuh tanjakan. Semua ditapakinya dengan jalan kaki.

“Sugeng rawuh, Mas Gito. Sekarang sudah tiba giliran Mas Gito bicara,” sambutan mitra dampingan yang memeranjatkan. Namun, segera ia sadar kehadirannya terlambat. Keringat sebesar butir-butir jagung belum kering. Kaku sendi dan urat kaki belum berlalu. Tanjakan demi tanjakan membuat topik materi dampingan di benak, seakan lenyap. Begitulah risiko dalam sehari ada dua pertemuan di dua dusun yang dijaraki lanskap naik-turun-naik. Di tengah bauran penat dan kehilangan topik, ia mampu mengingat ajaran “Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas”.

Anggap saja ritme rutin pendakian sebagai bentuk kerja keras. Ajaran tua ini tentu masih cukup berarti sebagai modal kerja. Termasuk kerja pemberdayaan komunitas petani gula kelapa di Mantren. Bersama tim Masyarakat Mandiri, tantangan pekerjaan dan konstruksi masalah di daerah dampingan – tentu membutuhkan lebih dari sekadar kerja keras. Modal kedua – kerja cerdas, kiranya yang menjadi bobot tertinggi dalam proses pemberdayaan. Kerja cerdas menjadi kunci proses menuntaskan misi.

Para pemanjat kelapa tentu pantas disebut pekerja keras. Di ketinggian 7-25 meter, mereka nderes, menyadap nira kelapa. Memanjat dan nderes bagi orang-orang yang didampingi Gito adalah pekerjaan warisan. Karena warisan, mereka hanya berkutat pada pola yang tak berkembang. Sekali penderes tetap penderes. Dan, berhenti sebagai pembuat gula merah Pacitan yang terkenal.

Pendampingan adalah proses transformasi. Kerja cerdas menjadi hajat untuk mengubah. Bagaimana hidup para penderes dan pembuat gula tak tergantung lagi pada para tengkulak. Bagaimana mereka punya posisi tawar, atau mereka bisa mengembangkan pasar sendiri. Tak lupa juga bagaimana menjaga mutu gula merah. Pada gilirannya, gula merah Pacitan selain makin terkenal, juga laku keras.

Para petani kelapa punya modal yang termat berharga: modal sosial berupa kebiasaan berkelompok. Dus, keras cerdas tak lagi monopoli pendamping. Melalui kelompok, mitra dampingan menghidupkan kecerdasan-kecerdasan warisan yang dikombinasikan dengan hal-hal baru. Sepanjang pengalaman pendampingan bertahun-tahun yang dilakukan oleh MM, tampaklah nyata orang-orang desa cukup terbuka akan perubahan. Di antara mereka, pastilah muncul orang-orang yang menonjol, kelak menjadi penyambung gerak.

Terakhir, kerja ikhlas. Keikhlasan adalah investasi jangka panjang. Ikhlas menjadi penuntun kerja keras dan kerja cerdas. Begitulah yang dipegang Gito dan kawan-kawan sepengabdian. Keikhlasan pada mitra tak sulit untuk digali, sebab ia bagian dari kearifan orang desa secara pribadi maupun kolektif. Orang desa tak identik dengan melulu kerja keras, apalagi yang serba ngos-ngosan. Dengan memadukan tiga model kerja tadi, membuat seorang pemberdaya semacam Gito dalam proses pemberdayaan, juga tidak bakal ngos-ngosan.

{fcomment}

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.