Sisi Lain Pemberdayaan: “Susahnya Membangun Kepercayaan”

Community development, sebuah kata yang tak asing bagi saya. Ya, semasa duduk di bangku perkuliahan saya mempelajari teorinya. Terlibat di dunia comdev sebagai pendamping masyarakat yang terjun langsung di daerah seakan menjadi ‘pelengkap’ atas ilmu yang telah diperoleh sebelumnya. Naik satu level, dari sebatas teori ke aplikasi. Kenyataannya, berjuang sebagai pendamping masyarakat bukanlah hal mudah. Jiwa kreatif, inovatif, dan bersemangat agaknya masih belum cukup untuk mensukseskan program comdev. Perlu keseimbangan antara pendamping masyarakat dengan internal individu, komunitas, maupun masyarakat  itu sendiri.

Saya sebagai pendamping masyarakat yang ditugaskan di wilayah pesisir, Indramayu tepatnya, dengan sasaran program adalah perempuan wirausaha olahan turunan ikan. Seperti biasa, diawal program, yang terpenting adalah rekruting calon mitra yang tepat untuk dikelompokkan nantinya. Sesuai dengan sasaran, maka kunjungan ke pengolah maupun kuli ikan sudah menjadi keseharian.

 

Malam itu ba’da Isya, yang entah kapan saya lupa tanggalnya, berbekal daftar nama dan bertanya alamat, saya bermaksud melakukan studi kelayakan mitra (SKM) di salah satu kuli ikan gesek (olahan ikan asin maupun tawar). Rumah tersebut tidak sulit untuk ditemukan. Diawali dengan perkenalan lalu dilanjutkan dengan penjelasan tujuan, setelah bermenit-menit berbincang akhirnya ibu muda dua anak tersebut memahami maksud kunjungan saya. Pendekatan dengan kuli memang harus berbeda dan butuh waktu yang lebih lama. “Pinjaman modal”, itu yang ditangkap pikirannya.

“Bagaimana Bu, bersedia gabung dengan program kita untuk berwirausaha? Ini kesempatan loh buat ibu….”

“Sebenarnya pengen, tapi usaha apa ya?”

“Ya… yang penting olahan ikan, bisa bakso, nugget, otak-otak, atau apalah yang ibu bisa, kalau tidak bisa, yang penting ada niat wirausaha dulu nanti dari kita ada pelatihannya. Silakan ibu izin ke suami dulu”

“Iya mbak, takutnya gak diizinin sama suami.”

“Maka dari itu Bu, kalau mau gabung di kita, izin ke suami itu harus. Suami ibu kemana?”

“Lagi ngebenerin perahu mbak, sebentar lagi juga pulang”

“Baiklah saya tunggu”

Sembari menunggu suami ibu tersebut pulang, percakapan menyangkut keseharian kuli didapat, data SKM pun terlengkapi (lumayan meskipun hanya nambah satu calon mitra yang belum jelas juga kesediaannya untuk digabung ke kelompok). Tak hanya itu, percakapan persoalan anak, rumah tangga, pendidikan mengalir dengan sendirinya. “Terkadang, otak pendamping masyarakat memang disiapkan untuk menampung cerita berbagai hal”, itu pikirku.

Setelah obrolan yang dirasa sudah cukup lama, akhirnya datang juga sang suami. Melihat ada orang asing di rumahnya, si bapak berbisik pada istri “itu siapa?”. Saya yang kebetulan mendengar pertanyaan tersebut lalu memperkenalkan diri sekaligus menjelaskan maksud kedatangan saya. Artinya, saya harus rela menjelaskan ulang lagi apa yang telah saya ungkapkan sebelumnya kepada bapak tersebut (*sabarrr). Pesan tersampaikan. Berbagai pertanyaan soal produk, besar pinjaman, angsuran diajukan. Nampaknya tak ada kebingungan dari si bapak, jawaban atas berbagai pertanyaan diterima.

 “Nah, terus begini Pak, ibu minat berwirausaha. Di izinin gak Pak?”

“Memangnya mau wirausaha apa sih bu?” Tanya suami ke istri.

“Ya apa aja, pengin dagangan warung jajanan”

“Aduh bu, jangan warung jajanan, usaha olahan ikan saja ya? Ibu punya ketrampilan mengolah ikan gesek kan?” Saran sekaligus tanyaku.

“Iya”

“Ibu udah punya langganan kerupuk kulit?”

“Punya”

“Nah, itu saja. Usahanya ikan asin, nanti ngejualnya di langgan kerupuk kulit ibu, barangkali langgan ibu itu mau. Kesempatan loh bu, supaya ibu bisa mandiri,  gak nguli lagi. Apa ibu gak mau jadi bos untuk diri sendiri? ayo bu, coba deh wirausaha”. (*tembakan persuasi bertubi-tubi)

“Iya sih mbak, dulu adik saya juga kuli, sekarang sudah usaha ikan gesek sendiri”

“Nah, ibu mau gak nyusul adik jadi bos ikan gesek? Nanti kalau ibu wirausaha sendiri statusnya udah gak kuli lagi loh, berubah jadi bos meskipun hanya untuk diri sendiri”.

***

Singkat cerita, akhirnya ibu tersebut bersedia gabung dengan program. Sampailah pada tahap Latihan Wajib Kelompok (LWK) gabung dengan tujuh orang lainnya. Hari pertama dan kedua lancar. Hari ketiga, sudah dua puluh menit dari kesepakatan jadwal, ada satu orang belum datang. Ibu muda itu, yang beberapa waktu lalu saya kunjungi dirumahnya hampir satu jam untuk SKM dan gembelengan semangat wirausaha, Erilah namanya, dia belum datang. Lalu, salah satu calon mitra lain bersedia menjemputnya.

 

“Ya, dia datang, LWK sepertinya akan lancar hingga akhir”, batinku.

“Maaf mbak, saya gak jadi ikut kelompokan, sudah dipinjami modal sama saudara saya”.

“Iya, gakpapa” (*sambil lemes).

“Mbak, boleh saya minta fotokopi KTP sama KKnya?”

“Insyaallah kapan-kapan saya titipin, atau kalau gak saya antar deh ke rumah ibu”.

Kehilangan satu calon mitra yang telah didapatkan dengan susah payah, rasanya sesuatuu….. Maklumlah, bukan pekerjaan mudah mengajak kuli untuk mau berwirausaha. Apalagi calon mitra tersebut terlihat semangatnya, dia potensial. Benar saja, ketika saya berkunjung ke rumahnya, usaha ikan geseknya sudah dimulai. Itu artinya, empat hari setelah LWK hari terakhir dia sudah tidak lagi berstatus sebagai kuli. Dia mandiri.meskipun usaha olahannya dimulai dari dua puluh kilogram ikan basah, jumlah yang sangat kecil tentunya bila dibanding dengan yang lainnya. Perjuangan kuli yang berubah sebagai bos bagi diri sendiri yang saya sebut sebagai metamorfosis ini tak  mudah. Ibu muda itu harus merasakan rendahnya pendapatan di awal, belum ada keuntungan besar, ya begitulah memulai wirausaha, harus bersedia berjuang. Ditambah lagi, si ibu harus menerima perlakuan sewot dari mantan bos nya karena keluar sebagai kuli ditempatnya. Namun, bukankah hidup adalah pilihan yang harus diperjuangkan?

Begitupun dengan pendamping masyarakat. Motivasi dan persuasi adalah dua bagian kecil dari kegiatan comdev yang harus diperjuangkan. Saya menyadari betul betapa motivasi dan persuasi segigih apapun tidak akan berarti bila tidak ada kesadaran diri dari individu untuk maju. Tapi ketika kesadaran untuk mandiri dan maju sudah tertanam, serta diiringi niat baik dihati, dengan sedikit motivasi dan persuasi, kuli bisa mandiri!

Saatnya metamorfosis hai para kuli, tetap semangat berjuang dan jadilah bos bagi diri sendiri.

{fcomment}

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.